Ia, duduk di samping gundukan tanah bernisan basah oleh embun,
menatap langit. Hela napasnya membuatku terkejut lalu aku terbang ke
dahan sebuah pohon kamboja yang menjulang gagah tak jauh dari gundukan
tanah di sampingnya. Padahal, sebutir biji di dekatnya tadi belum sempat
kupatuk. Ah, mungkin ia tak bermaksud begitu. Lagi-lagi, ia melanjutkan
lamunannya, menatap nisan yang masih basah itu, sambil menggerakkan
mulutnya ke kanan, ke kiri, atau menghembuskan napas panjang.
Hampir tiap pagi, seperti pagi ini, selama setahun belakangan ia
selalu datang ke sini untuk membersihkan daun-daun kering kamboja yang
berjatuhan di atas gundukan bernisan itu,
melamun, bahkan kadang menitikkan air mata, atau datang sekedar untuk
berkata “Selamat pagi, Ayah!” kemudian berlari kembali ke arah ia datang
tadi karena ia hampir terlambat datang ke sekolah yang berada satu blok
dari kompleks yang penuh gundukan-gundukan tanah ini.
“Kemarin orang-orang berseragam itu datang lagi ke jalan, Yah. Aku
sudah berlari secepat mungkin, tapi aku tertangkap lagi, Leutika juga.
Kali ini mereka tidak membawa kami ke kantor itu lagi, tapi mereka
mengambil kotak asongan kami, padahal aku baru keluar.” Akhirnya ia
bicara, menetes juga air matanya. Aku jadi tahu mengapa hari ini ia
datang cukup pagi. Tak ada yang bisa dimakannya sejak kemarin siang.
Tiba-tiba ia tersenyum, “Tapi aku akan membuat kotak itu lagi, Yah. Aku
akan mengisinya lagi. Dan aku akan berjualan lagi. Seperti kata ayah,
aku harus tetap sekolah, jadi aku harus terus menabung. Aku akan sekolah
sampai SMA. Setelah lulus SMA, aku akan belajar tentang hukum, nanti
aku akan membuktikan bahwa menjadi pedagang asongan bukan hal yang harus
dilarang oleh orang-orang berseragam itu, atau pun orang-orang lainnya.
Karena kita tidak membuat jalan jadi macet saat berjualan, kan, Yah?
Kita tidak mencuri atau pun mengemis. Kita juga hanya mendekati
orang-orang berkendaraan itu saat lampu sedang merah.”
— — —
Setahun yang lalu, aku juga melihat gadis ini menangis histeris di
tempat ini. Namun, ia tak sendiri seperti saat ini, ia datang bersama
orang-orang yang memasukkan bongkahan-bongkahan tanah dengan cangkul
untuk menimbun seseorang yang dibalut kain putih di dalam sebuah lubang
tak jauh dari pohon kamboja ini. Itu ayahnya. Laki-laki itu meninggal
tertabrak mobil di tengah jalan raya karena menghindari kejaran petugas
ketertiban. Sejak hari itu, aku menghafal kata-katanya, janjinya di
depan tanah yang menimbun ayahnya, di bawah gugurnya daun kamboja.
Janjinya untuk tidak menyerah saat petugas-petugas ketertiban
mengejarnya, seperti mengejar ayahnya dulu, juga janji untuk meneruskan
sekolahnya sampai selesai. Tidak seperti daun-daun kamboja itu, ia
berjanji tidak akan gugur saat ‘musim’ macam itu menuntutnya untuk
gugur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar